Pada Jumat, 22 April 1578 yang bertepatan dengan hari Idul Fitri, Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) menerima empat Kandaga Lante (bangsawan/abdi raja setingkat bupati yang merupakan para patih Kerajaaan Pajajaran) di Keraton Kutamaya Sumedang Larang. Keempat Kandaga Lante tersebut bernama Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot. Keempatnya diutus Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) untuk menyerahkan Mahkota Binokasih - yang dibuat pada masa Prabu Bunisora (1357-1371) - dan seluruh pakaian kerajaan pada Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Pajajaran saat itu mengalami desakan yang hebat dari serangan pasukan gabungan Banten, Cirebon, dan Demak. Maka dari itu, penyerahan Mahkota Binokasih dan seluruh atribut kerajaan oleh Prabu Siliwangi dimaksudkan agar Kerajaan Sumedang Larang bisa menjadi penerus kekuasaan Pajajaran. Mahkota tersebut lalu diserahkan pada penguasa Sumedang Larang, Pangeran Angkawijaya yang pada hari itu juga dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun. “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan)," begitulah yang tertulis dalam Pustaka Kertabhumi 1/2 mengenai Prabu Geusan Ulun yang mewarisi bekas wilayah Pajajaran. Wujud Mahkota Binokasih yang diserahkan Pajajaran pada Sumedang Larang kini bisa dilihat di dalam Museum Prabu Geusan Ulun. Selain wujud aslinya, terdapat juga replika Mahkota Binokasih yang bisa dilihat di puncak tugu kota Sumedang yang berdiri di Jl. P. Sugih No. 16, Regol Wetan, Sumedang Selatan.